Andarpedia - Mewujudkan cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia, salah satunya butuh investasi langsung dalam rupa pabrik. Di sana iklim industri dengan rakyatnya terlibat secara langsung pada arus itu akan memberikan manfaat dalam banyak hal.
Bukan hanya menjadi petani sebagai pemasok bahan baku, bukan pula pabrik pengolahan sederhana dengan kapasitas satu dua layer di atasnya yang masih dalam tataran bahan baku semata, produk jadi adalah target ingin dikejar. Artinya, jangan cuma minyak sawit sebagai bahan baku saja kita ekspor tapi produk akhirnya. Itulah kira-kira salah satu target lain ingin dikejar dalam satu pukulan ini.
Seperti makna satu dayungan dua dan tiga pulau terlampaui, menyetop keran ekspor dengan maksud agar harga minyak goreng untuk rakyatnya terjangkau, relokasi banyak pabrik ke Indonesia adalah target lain ingin didapat.
Atas fakta bahwa CPO dari Indonesia berhenti ekspor, ada tiba-tiba jumlah ratusan bahkan ribuan industri di luar negeri terdampak langsung. Mereka yang tak bergerak cepat untuk mendapat suplai pengganti dari negara lain, tak ada pilihan selain tutup atau relokasi mendekat pada di mana bahan baku itu berlimpah.
Kebijakan larangan expor Jokowi
Sialnya, itu bukan hal mudah. Akan terjadi saling gebuk demi rebutan luar biasa seru di pasar global atas produk sawit dari Indonesia yang tiba-tiba hilang di pasar. Itu menjadi sangat masuk akal, ketika hadir fakta bahwa Indonesia adalah penyedia hampir 60 persen CPO dunia.
Diantara ribuan pabrik di luar negeri itu, ada ratusan diantaranya yang adalah milik warga Indonesia. Ga percaya? Tanya saja pada Wilmar, Salim Grup hingga Sinarmas deh. Trus cari tahu berapa banyak mereka punya pabrik downstream sawit di luar negeri.
Produk Sinarmas & Wilmar
Akibat kebijakan ini, ratusan pabrik mereka di luar negeri itu terancam tutup, dan gondoknya, mereka justru ga bisa kirim CPO meski punya dalam jumlah berlimpah di dalam negeri. Mereka adalah para raja dalam kasta tertinggi dalam perkebunan sawit. Kini mereka ga bisa kirim CPO dan turunannya meski punya kebun sangat-sangat luas.
Relokasi adalah jawabannya. Itu terkait dengan teori mendekati bahan baku. Itu mengingatkan kebijakan nikel yang tak lagi boleh diekspor dalam kondisi ore pernah negeri ini lakukan.
Membuat negara berdaulat, itulah kira-kira drama ini harus diberi judul. Dan drama memang tak seru tanpa keributan. Mereka yang merasa dirugikan tak mungkin akan menyerah begitu saja. Dan maka perlawanan mereka gaungkan. Seperti biasa, mereka tak terlihat tampil namun duitnya.
Baru saja Jokowi kasih sinyal akan adanya larangan ekspor beberapa waktu yang lalu, mereka telah langsung menurunkan harga beli dari petani. Konon bahkan ada yang hingga tinggal 1.000 rupiah saja perkilo.
Artinya, belum para cukong itu sempat dirugikan akibat larangan itu namun mereka justru sudah ambil untung. Dan kurang ajarnya, mereka ambil dari rakyat kecil.
Faktanya, petanilah yang harus sudah inden kerugian bahkan sebelum larangan ekspor diberlakukan oleh negara.Pada titik ini negara seharusnya hadir. Buat regulasi yang berpihak pada petani DAN AWASI !!!
Petani Sawit
Itu seperti mencoba membela rakyat miskin di satu sisi namun dengan korban rakyat miskin lagi di sisi yang lain. Bila ini adalah ekses, seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Para garong dalam rupa cukong sejak awal seharusnya sudah didata.
Ya para cukong itu memang telah terlihat langsung memberi perlawanan bahkan sejak larangan ekspor baru diwacanakan dengan cara membuat kerugian pada banyak petani kecil.
Apa yang terjadi? Mereka justru langsung mendapat 2 keuntungan sekaligus dalam satu tepukan, harga MURAH dan MARAH para petani.
Kelak ketika saatnya tiba, petani yang mereka rugikan ini pasti akan dijadikan objek jualan oleh cukong yang sama namun meminjam mulut para demonstran di Jakarta.
Sebagai data, saat ini setidaknya sudah ada empat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Mamuju Tengah yang terbukti melakukan penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani secara sepihak. Ini HARUS DITINDAK.
Pun pada jenis perlawanan yang lain dan mulai muncul, sebanyak 18 kapal terdiri dari tujuh kapal bermuatan 63 juta metrik ton CPO dan 11 kapal bermuatan 51.000 metrik ton batubara dikabarkan telah diamankan oleh jajaran TNI AL.
Dari segala sudut mereka akan tetap melawan. Jaring-jaring kekuasaan mereka memang terlihat berhenti karena libur panjang ini namun tidak pada saatnya nanti.
"Apakah pak Jokowi akan menang melawan oligarki tamak ini padahal di sisi lain kita semua tahu bahwa jaring-jaring mereka telah melibat dan melilit semua unsur kekuasaan hingga aparat?"
Tidak hanya dari dalam negeri, dari luar negeri pun perlawanan besar akan PASTI datang. Saat ini mereka hanya sedang mendata sambil menunggu saat yang tepat. [Lionita Lestari]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sebelum kamu pergi
Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol share untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru. Terima Kasih.!