Tatkala mentari kembali menapaki bumi dan pintu kehidupan dimulai lagi, sebuah amplop berwarna putih usang tiba di beranda rumahku. Tertulis di sana;
"Surat Dari Masa Lalu."
Kubuka perlahan-lahan, lalu ku dapati sebuah barisan monolog panjang milik seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.
Kepada hari ini, tatkala bumi semakin riuh dan segala hal tentang kehidupan semakin tampak rumit serupa benang kusut yang tiada berpenghujung. Akulah selembar surat usang dari masa lalu. Terangkai dengan banyak pelajaran dan berspasi oleh banyak penyesalan.
Ketika kau membaca tulisan ini, aku yakin kau sudah sedikit banyak berbenah. Meminimalisir kesalahan, mendewasa dengan bijak. Memetik banyak hikmah dari setiap perjalanan. Namun tetap saja ketakutanmu perihal masa depan akan selalu ada.
Kau pasti tahu bahwa masa depan adalah sebuah kepastian. Meskipun dirimu tetap sekeras karang, hanya sedikit perubahan, atau sama sekali masih serupa sediakala, masa depan tetap akan datang menghampirimu. Tentu pula, pada segala hal di depan sana yang belum pasti, maka akan selalu diikuti khawatir dalam diri.
Surat ini sebagai pengingat, pengikat kenang dan penyambung rindu. Memperbaharui banyak masa yang dipisah oleh waktu. Menyibak banyak kisah pilu tentangku yang akan menjadi pelajaran hidup selamanya untukmu—yang mendapatinya di beranda rumah.
Wahai, Engkau... Dzat yang menjadi lentara dalam pekat kala itu. Surya yang menghangatkan setiap langkah awal pagiku—hingga siang menjelang Kau tetap setia menemani dengan terang-Mu. Demikian pula tatkala senja tiba, Kau tetap meronakan akhir hariku, mengantar pulang jiwaku kala malam mulai datang bertandang.
Di malam hari Kau menjelma rembulan, menyinari gulitaku yang sunyi. Dengan hangat cahaya-Mu, Kau baluri sekujur tubuh ini, agar hilang lelah dan penatku sehari tadi. Demikian masa itu, dalam hari-hari dan malam-malamku selama sewindu aku mengenal-Mu.
Hingga suatu hari, tragedi itu tiba, bermula dari peristiwa pertemuanku dengan seseorang. Sebuah jumpa yang perlahan lenakan mata. Sebuah sapa yang tulikan telinga. Sebuah cengkrama yang kelukan lidah. Hingga mata hatipun dibuat buta. Sebuah badai ujian dalam ketidaksadaranku yang pada akhirnya menciptakan jarak berlipat ganda antara aku dengan-Mu.
Ketika itu awal kepala dua usiaku dan kehadiran seseorang itu berhasil menyeretku ke dalam lembah kenistaan. Hanya kesenangan fana yang mengisi hari-hari. Aku laksana miskin papa yang bahagia menerima hasil. Tapi, lupa bahwa kail jauh lebih berharga. Malam-malamku larut dalam balut selimut yang seakan itu surga. Membuai lena hingga ke alam mimpi. Membuatku lupa, bahwa ketampanan ataupun kecantikan hanyalah sebatas kulit belaka. Membuatku alfa, bahwa ketidakbaikan tidak bisa disandingkan dengan kebaikan apapun pembungkus duniawi yang berusaha menyamakannya.
Lalu, setelah lima tahun aku melupakan-Mu, Kau mengingatkan ku kembali; melalui kepergian ibu—Kau sadarkan aku. Lewat kehilangan ibu—Kau ketuk pintu hatiku yang berdebu oleh waktu dan kesenangan dunia. Lewat ibu, Kau buat aku melihat dan mendengar kembali. Lewat ibu, Kau buat lidahku merapal kembali. Lewat kehilangan ibu, Kau tuntun kakiku yang patah sebab terjatuh dalam jurang hina menuju kembali kepada kebenaran-Mu.
Ya, Kau selamatkan aku dengan mengajak ibu pulang ke sisi-Mu, Tuhanku. Betapa pengasihnya Engkau padaku. Betapa penyayangnya Engkau pada hamba-Mu. Ampuni aku yang pernah melupakan-Mu setelah sewindu mencintai-Mu. Sungguh aku bersyukur Engkau cemburu. Wahai Tuhanku yang tak pernah sekalipun pilih kasih, cinta-Mu akan selalu ku minta lagi. Lagi dan lagi tanpa terputus hari.
Berulang kali ku ketuk pintu ampunan-Mu, bersimpuh aku dihadapan-Mu, dan ku mohonkan sepenuh hati pada-Mu, jangan biarkan sesuatu kembali membuatku lalai dari-Mu, jangan biarkan hatiku terisi oleh selain-Mu juga peliharalah aku dalam rumah iman dan taqwa pada-Mu, agar tidak merugilah aku.
Surat ini telah tiba pada penghujungnya. Ingatlah bahwa surat ini sengaja kau tuliskan setelah tiga hari berpulangnya mendiang Ibu. Kau menuliskannya sebagai pengingat dirimu, serta pengingat hari berpulangnya Ibu. Agar kau tak pernah melupakan Tuhanmu lagi.
.......
Tak terasa air mata menggenangi sudut mataku, lalu perlahan membasahi setiap aksara yang tertulis atas nama surat dari masa lalu. Ini adalah surat kelima dengan isi yang sama, dari tahun-tahun sebelumnya. Surat yang akan tiba setiap tahunnya, dari tiga puluh lima surat yang telah ditulis oleh almarhumah ibu untukku.
"Sebagai pengingatku untuk menjaga diri agar titian jalan ini selalu dalam naungan ridho-Nya, agar istiqomah aku di jalan-Nya, agar ketika aku salah arah, aku tahu kemana aku harus berlari—menuju-Nya." Itulah yang Ayah ucpakan saat surat pertama tiba di beranda rumah lima tahun yang lalu.
Aku melipat kembali surat dalam genggamanku sedang air mataku masih terus berjatuhan. Kesalahan ibu, penyesalan ibu, adalah pelajaran berharga untukku.
"Ibu, terima kasih sudah menuliskan surat-surat ini untukku. Sehingga kesalahanmu di masa muda tidak ku lakukan di masa kini."
***
Ttd; @barakelana @langitawan @kkiakia
Kantin Tadika Mesra, 30 September 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sebelum kamu pergi
Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol share untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru. Terima Kasih.!