Putus Sekolah

 



Oleh : Marsianus Alex

Ini adalah jalan dari Dusun Menjalin menuju Pusat Desa Pengkadan Sungai Rupa Kec. Dedai. Jalan ini sudah lama begini. Saya zoom gambar di sebelah kanan, ada anak-anak SD yg sedang berjalan kaki, itu karena Sekolah mereka ada di pusat desa (Buluh Merindu). Mereka harus berjalan sejauh kurang lebih 4 km dengan kondisi jalan yang lebih mirip "arena pembunuhan" meminjam istilah bg Kris Lucas. Orang tua seharusnya mengantar anak-anak mereka yg masih kecil2, terutama anak kelas 1 dan kelas 2. Kaki mereka masih belum siap berjalan kaki 8 km. Namun antar jemput menggunakan motor justru lebih menyusahkan, Istilah bg Dimu Mohtar "lebih banyak penumpang angkat motor, daripada motor yang angkat penumpang".
Tak heran, di Dusun ini angka putus sekolah di usia SD cukup tinggi. Walau pemerintah canangkan wajib belajar 12 tahun, disini belajar 1-2 tahun saja adalah cobaan yang amat berat. Bukan cuma soal jalan kaki ke SD terdekat yg jadi kendala. Untuk menempuh pendidikan lanjut seperti SMP dan SMA orang tua siswa rata-rata terkendala biaya. Sebab anak mereka harus ke kota. Ada SMP di Desa Sebelahnya, Desa Kumpang tapi mereka harus berjalan kaki lagi sekitar 6 km. Kerusakan jalannya pun sama parah.
Soal penghasilan, dusun ini sebenarnya punya komoditi andalan, penghasil karet dan cabek. di Bukit belakang rumah mereka cabek bisa tumbuh subur tanpa pupuk. 1 pokok bisa hasilkan sampai sekilo cabek. Sayangnya hasil bumi mereka itu tidak pernah dibeli dengan harga pantas. Alasannya karena biaya transportasi yg tinggi. Kadang tidak laku dan membusuk. Petani merugi. Karet juga selalu murah. Jika di desa yg aksesnya mudah harga karet 10 ribu di mereka paling mahal 6.000. Efeknya jarang sekali ada orang tua yg berani memberangkatkan anak-anaknya menempuh pendidikan lanjut.
Dusun dan desa ini juga belum ada aliran listrik negara. Bayangkan disaat Elon Musk sudah rancang bagaimana orang hidup nyaman di Palanet Mars, Di Pulau Jawa pemerintah ribut soal Tol dan kereta Cepat, orang-orang di kampung kami ini masih berkhayal tentang bagaimana nyamanya ada lampu PLN. Bagaimana jalan tidak sekubangan sekarang. Di Dusun Menjalin juga belum ada fasilitas air bersih, padahal 2 km di belakang rumah ada sumber air.
Narasi dusun Menjalin ini adalah gambaran umum dari 11 Dusun di 5 Desa di Wilayah Hulu Dedai. Kondisinya kurang lebih sama, hasil bumi sulit disalurkan, anak-anak sulit sekolah, listrik tidak tersedia, ekonomi masyarakat melambat dan sekarat.
Soal jalan setelah tahun 1999, belum ada pembangunan/peningkatan jalan yg memadai ke daerah ini. Saat ini ke arah Kecamatan, jalan pemerintah malah sama sekali tidak bisa dilewati. Masyarakat hanya mintas merabas lewat kebun PT. Sawit. Penelantaran terhadap 5 Desa di Dedai Hulu ini saya lihat sudah diluar batas kewajaran. Keterbatasan anggaran sudah tidak lagi dapat diterima nalar sehat. Masak ia, hampir 22 tahun alasanya sama, anggaran kurang.
Yang jelas marjinalisasi ini hasilnya adalah keterbelakang, ketertinggalan dalam pendidikan dan ekonomi. Mayoritas masyarakat menempati posisi palung dari neraca kesenjangan sosial. Kristalisasi dari semua ini adalah rasa tertindas. Jika terus begini hanya ada 2 kemungkinan. Pertama mereka akan bangkit dengan caranya sendiri. Melawan ketidakadilan. Kedua tercipta masyarakat yang semakin minder, introvert, dan pragmatis. Secara politik merasa tidak punya daya dan kekuatan. Suara mudah dibeli namun sangat mudah juga dipermainkan dalam kebijakan-kebijakan politis.
Semakin terpuruk, semakin sulit untuk bangkit..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebelum kamu pergi

Kalau kamu suka dengan artikel ini, gunakan tombol-tombol share untuk membagikan artikel ini ke teman-teman kamu, dan daftarkan email kamu untuk mendapatkan update jika ada artikel baru. Terima Kasih.!